Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan skema KPBU sebenarnya dirancang sebagai jalan tengah antara keterbatasan anggaran negara dan kebutuhan besar akan pembangunan infrastruktur.
Di atas kertas, KPBU terlihat indah di mana pemerintah menyiapkan proyek dan swasta masuk dengan modal dan keahlian. Kemudian hasilnya adalah pembangunan yang lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, kenyataannya tak seindah itu ketika di lapangan.
“Pengusaha swasta menghadapi kerumitan birokrasi, inkonsistensi kebijakan, dan ketidakpastian dalam pengembalian investasi. Bahkan proyek-proyek yang tampak menjanjikan di awal bisa berubah menjadi jebakan likuiditas karena struktur risiko yang tidak proporsional,” katanya kepada .com.
Ia mengibaratkan pengusaha seperti petani yang diminta menanam padi di sawah milik negara, dengan janji hasil panennya akan dibeli dengan harga layak. Namun setelah tanam, hujan justru tak turun, irigasi tersumbat, dan harga jual tidak kunjung jelas.
“Apakah petani itu akan mau menanam lagi tahun depan? Begitulah perasaan pelaku usaha saat ini,” katanya.
Achmad mengatakan dunia usaha bekerja dengan asumsi rasionalitas dan perhitungan risiko. Sedangkan dalam banyak kasus KPBU, yang mereka temukan justru adalah ketidakpastian dalam segala aspek, mulai dari waktu pelaksanaan proyek yang molor, perubahan aturan yang mendadak, hingga janji insentif fiskal yang tak kunjung datang.
Maka, tak heran jika akhirnya banyak pengusaha yang merasa KPBU hanya lah skema ideal yang buruk dalam eksekusi.