Jakarta — PT GAG Nikel selaku perusahaan yang menambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya ternyata punya hak istimewa yang dikantongi sejak 1998.

Aktivitas tambang nikel itu dilakukan di kawasan hutan lindung yang sebenarnya melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, PT GAG Nikel dan 12 perusahaan lain mengantongi keistimewaan dari negara.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut perusahaan itu mulanya dikuasai asing. Pemerintahan Orde Baru alias di akhir kepemimpinan Presiden ke-2 Soeharto yang memberikan kontrak karya untuk perusahaan tersebut.

Kontrak karya adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral. PT GAG mengantongi kontrak karya generasi VII No. B53/Pres/I/1998 yang terbit pada 19 Januari 1998 dan ditandatangani Soeharto.



“Kemudian pergi, diambil alih oleh negara. Negara menyerahkan kepada PT Antam,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Kamis (5/6).

Tepat setahun setelah kontrak karya dikantongi PT GAG, negara melarang penambangan di hutan lindung melalui UU Kehutanan. Akan tetapi, beleid itu direvisi pada era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Sebanyak 13 perusahaan pemilik kontrak karya di era Orde Baru mendapat pengecualian dari negara. Melalui UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan, GAG dan 12 perusahaan lain diizinkan Megawati melanjutkan kontrak karya yang sudah dipegang.

Di lain sisi, struktur kepemilikan saham PT GAG awalnya terdiri dari Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. (APN Pty. Ltd) sebesar 75 persen dan sisanya dipegang Antam.