Noor Abdalla, istri Khalil yang merupakan seorang dokter gigi asal Michigan, menyambut baik keputusan pembebasan suaminya.
“Akhirnya keluarga kami bisa bernapas lega dan tahu bahwa Mahmoud sedang dalam perjalanan pulang,” katanya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa keputusan tersebut belum menyentuh akar persoalan.
“Kami tahu putusan ini tidak cukup untuk menjawab ketidakadilan yang telah dibawa pemerintahan Trump kepada keluarga kami, dan begitu banyak keluarga lain yang dibungkam karena bersuara menentang genosida yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina,” kata Abdalla, yang melahirkan anak pertama mereka saat Khalil masih ditahan.
Saat ditangkap, Khalil masih berstatus mahasiswa pascasarjana di Columbia University dan merupakan tokoh utama dalam demonstrasi nasional menentang serangan Israel di Gaza.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio memanfaatkan undang-undang era “Red Scare” tahun 1950-an untuk mendeportasi warga asing yang dianggap bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS.
Rubio bahkan berargumen bahwa perlindungan kebebasan berbicara dalam Konstitusi AS tidak berlaku bagi warga negara asing dan bahwa ia dapat mengambil keputusan sendiri tanpa campur tangan pengadilan.
Ratusan mahasiswa dilaporkan telah kehilangan visa mereka, sebagian hanya karena menulis opini atau memiliki catatan penangkapan ringan.
Namun, pekan lalu, Hakim Farbiarz memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat menahan atau mendeportasi Khalil semata-mata berdasarkan klaim Rubio bahwa keberadaannya di AS mengancam keamanan nasional.