Muhammad Arif Nuryanta kemudian mulai mendistribusikan uang suap tersebut kepada 3 majelis hakim. Ia memberikan Rp4,5 miliar kepada Agam Syarif Baharuddin alias ASB beserta uang untuk dua hakim lainnya.

“Setelah menerima uang Rp4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang, yaitu ASB sendiri, AL (Ali Muhtarom), dan DJU (Djuyamto),” ungkap Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4).

“ASB menerima uang dolar bila dirupiahkan Rp4,5 miliar, DJU menerima uang dolar jika dirupiahkan Rp6 miliar, dan AL menerima uang berupa dolar Amerika bila disetarakan rupiah Rp5 miliar,” jelasnya.

Putusan lepas di PN Jakpus tidak sesuai dengan tuntutan JPU yang ingin ketiga korporasi dihukum membayar uang pengganti. Permata Hijau dituntut membayar Rp937.558.181.691,26 (Rp937 miliar); Wilmar Group senilai Rp11.880.351.802.619,00 (Rp11,8 triliun); dan Musim Mas Group sebesar Rp4.890.938.943.794,1 (Rp4,8 triliun).

Dugaan suap dan/atau gratifikasi pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat mulanya diketahui jaksa penyidik dari barang bukti perkara di PN Surabaya yang menyeret mantan pejabat MA Zarof Ricar. Ada percakapan dari bukti elektronik yang menyebut nama Marcella Santoso. Setelah ditindaklanjuti, termasuk dengan penggeledahan apartemen sang pengacara, ditemukan sejumlah dokumen terkait pengurusan perkara ekspor CPO tersebut.

Kejagung lalu menyita uang senilai Rp11,8 triliun dari 5 anak perusahaan Wilmar, yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia. Ini sesuai dengan tuntutan uang pengganti yang diajukan JPU terhadap Wilmar Group.