“Ekspor kemenyan kita pada 2024 mencapai 43 ribu ton dengan nilai lebih dari US$52 juta (Rp847,6 miliar, asumsi kurs Rp16.299 per dolar AS). Sekitar 30 persen masyarakat di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan bergantung hidup dari komoditas ini,” kata Luhut melalui akun Instagramnya, Sabtu (24/5).
Sejak Zaman Belanda
Sejumlah penelitian merekam jejak kemenyan dalam perekonomian Indonesia. Salah satunya studi Pusat Riset Perhutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) pada 2004.
Studi itu mencantumkan kemenyan Sumatera Utara sebagai salah satu produk hutan selain kayu di Asia. Riset itu mengatakan penanaman kemenyan di Sumatera sudah dilakukan sejak lebih dari 200 tahun. Hal itu merujuk beberapa catatan pemerintah kolonial Belanda yang membahas pengolahan styrax benzoin.
Studi itu membahas soal “kebun kemenyan”. Masyarakat Sumatera Utara disebut menanam kemenyan di lahan perkebunan hutan.
“Area tanam meliputi sekitar 20 ribu hektare di ketinggian antara 700 dengan 1.400 meter di atas permukaan laut, 87 persen di antaranya berada di distrik Tapanuli Utara,” dikutip dari halaman 149 riset berjudul Forest Products, Livelihoods and Conservation tahun 2004.
Studi itu juga merekam puncak kejayaan kemenyan Sumatera Utara pada era 1970-an. Pada awal 1970-an, penjualan 1 kg kemenyan setara 32 kg beras.
Namun, harga komoditas itu merosot terus. Pada 1990-an, harga kemenyan turun separuh. Butuh 2 kg kemenyan untuk mendapatkan 32 kg beras.
Riset itu menyebut kemenyan menyumbang 30-45 persen pendapatan rumah tangga masyarakat Sumatera Utara saat itu.