Jakarta — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut sejumlah kasus dugaan korupsi besar yang melibatkan korporasi hingga pejabat tinggi dengan total potensi kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah.

Dalam beberapa waktu terakhir, Korps Adhyaksa mengungkap sederet perkara dengan nilai kerugian yang fantastis, mulai dari kasus izin timah, ekspor CPO atau minyak mentah, tata kelola minyak Pertamina, hingga yang terkini pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek.

Berikut rangkuman deretan kasus korupsi besar yang tengah ditangani Kejagung:

1. Korupsi Minyak PT Pertamina

Kejagung mengungkap tindak korupsi dalam tata kelola minyak dan produk di lingkungan PT Pertamina Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018-2023.





Tujuh tersangka telah ditetapkan, terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.

Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.

Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

Penyidik menemukan adanya manipulasi dalam pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk pembelian BBM beroktan 92 yang kemudian diterima dalam kualitas Ron 90 ke bawah, serta mark-up harga angkut kilang sebesar 13-15 persen.

Kerugian bersumber dari beberapa komponen, yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.

Kemudian Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. Sehingga total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun.

2. Kasus CPO Wilmar Group

Dalam kasus korupsi persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) periode 2021-2022, Kejagung menyita Rp11,8 triliun dari lima anak usaha Wilmar Group, yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia.

“Penyitaan uang hasil tindak pidana korupsi pemberian fasilitas CPO dan turunannya dari para terdakwa korporasi Wilmar Group sebesar Rp11.880.351.802.619,” kata Direktur Penuntut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Sutikno dalam konferensi pers, Selasa (17/6).

Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara korupsi minyak goreng sebelumnya. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp6 triliun, dan kerugian perekonomian negara Rp12,3 triliun.

Meski telah divonis lepas oleh PN Tipikor Jakarta Pusat, Kejagung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dikarenakan terdapat dugaan vonis lepas tersebut dipicu adanya upaya suap terhadap majelis hakim.

3. Kasus Duta Palma Group

Kasus korupsi PT Duta Palma Group merupakan pengembangan dari perkara yang melibatkan terpidana Surya Darmadi. Kejagung telah menetapkan tujuh korporasi sebagai tersangka atas korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Indragiri Hulu.

Lima perusahaan terlibat dalam korupsi lahan, yakni PT Palma Satu, PT Siberida Subur, PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Kencana Amal Tani. Dua lainnya, PT Darmex Plantations dan PT Asset Pasific, diduga terlibat dalam pencucian uang. Kejagung telah menyita total Rp6,8 triliun dari kasus ini.

“Kami mau sampaikan update terkait dengan berapa banyak uang yang sudah disita dari PT Duta Palma Group. Uang rupiah sebanyak Rp6.862.804.090. Jadi ada Rp6,8 triliun,” kata Kapuspen Kejagung Harli Siregar.

4. Kasus PT Sritex

Kasus bermula dari laporan keuangan Sritex pada 2021 yang menunjukkan kerugian Rp15,6 triliun, padahal di tahun sebelumnya masih meraup laba sebesar Rp1,24 triliun.

Setelah diselidiki, ditemukan tagihan belum lunas senilai Rp3,58 triliun dari berbagai bank, termasuk Bank Jateng, Bank BJB, Bank DKI, Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI.

Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menyebut pemberian kredit tersebut tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dan melanggar UU Perbankan. Selain itu, kredit disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif.

“Mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp692.980.592.188 dari total nilai outstanding sebesar Rp3,58 triliun,” jelas Qohar.

Tiga tersangka telah ditetapkan, yakni Iwan Setiawan Lukminto selaku eks Dirut Sritex 2005-2022, Zainuddin Mappa selaku Dirut Bank DKI 2020, dan Dicky Syahbandinata selaku Pimpinan Komersial Bank BJB 2020.

5. Korupsi Pengadaan Laptop Kemendikbudristek

Baru-baru ini, Kejagung mengusut dugaan korupsi proyek pengadaan laptop Chromebook yang diperkirakan senilai Rp9,9 triliun di bawah Kemendikbudristek periode 2019-2023. Proyek ini dilakukan saat Nadiem Makarim menjabat Mendikbudristek, dengan dana berasal dari DSP dan DAK.

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyebut pengadaan ini tidak efektif karena minimnya infrastruktur internet di banyak daerah.

“Kenapa tidak efektif, karena kita tahu bahwa dia berbasis internet, sementara di Indonesia internetnya itu belum semua sama,” ujarnya.

Nadiem kemudian menyatakan pengadaan dilakukan sebagai mitigasi learning loss selama pandemi Covid-19.

“Saya tidak pernah menoleransi praktik korupsi dalam bentuk apapun,” tegas Nadiem dalam konferensi pers, Selasa (10/6).

Kejagung masih mengusut kasus ini dengan terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi, termasuk mantan staf khusus (stafsus) Nadiem, di antaranya, Fiona Handayani, Juris Stan, dan Ibrahim.

Di tengah penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung, Nadiem menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dan memberikan klarifikasi jika diperlukan.

“Saya percaya bahwa proses hukum yang adil akan dapat memilah antara kebijakan mana yang dijalankan dengan iktikad baik dan mana yang berpotensi menyimpang dalam pelaksanaannya. Saya tidak pernah menoleransi praktik korupsi dalam bentuk apapun,” tegasnya.

Hingga kini, Kejagung masih menghitung secara pasti nilai kerugian negara dan meneruskan lebih lanjut penyidikan kepada sejumlah saksi dan barang bukti terkait kasus dugaan korupsi ini.

6. Kasus Tata Niaga Timah PT Timah

Dalam kasus tata niaga timah periode 2015-2022, Kejagung menetapkan 23 tersangka dan 5 korporasi, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT SIP, PT TIN, PT SB, CV VIP.

Jampidsus Febrie Adriansyah menyatakan total kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang dibebankan ke kelima korporasi mencapai Rp152 triliun.

Total kerugian negara berdasarkan audit BPKP bahkan mencapai Rp300,003 triliun, mencakup kelebihan bayar harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp2,85 triliun, pembayaran biji timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra dengan sebesar Rp26,649 triliun dan nilai kerusakan ekologis sebesar Rp271,6 triliun. Beberapa dari tersangka telah divonis di pengadilan.

“Ini sekitar Rp152 triliun. Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan hakim itu jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti,” ujar Febrie.

Salah satu tersangka utama dalam kasus ini adalah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Dirut PT Timah 2016-2021, dan Harvey Moeis, perwakilan PT Refined Bangka Tin.

Kasus Sritex hingga Timah