Ronny menilai sebenarnya WTO bisa kembali berfungsi sebagaimana mestinya jika AS dan China kembali ke institusi multilateral dalam urusan perdagangan dunia. Namun, ia menilai hal tersebut sulit tercapai di era Trump.

Bahkan setelah era Trump juga akan sama karena AS akan menuntut agar WTO lebih tegas ke hal-hal tertentu, seperti pencurian teknologi oleh perusahaan China, praktek subsidi ekspor China, dan praktek proteksi pasar domestik China.

“Dan China harus melunak, agar bersedia memenuhi itu melalui jalur multilateral. Sehingga Amerika kembali percaya kepada WTO. Kalau tidak, berkemungkinan besar WTO akan diabaikan,” katanya.

Sementara itu, Peneliti Next Policy Dwi Raihan mengatakan bahwa WTO memang kadang tidak efektif menyelesaikan masalah terutama kepada negara kuat. Hal itu terutama diperparah ketika AS memveto Appellate Body (Badan Banding) WTO.

Appellate Body bertugas menangani banding atas keputusan yang dikeluarkan oleh panel dalam sengketa antar negara anggota WTO. Mulai 2017, AS menghalangi penunjukan hakim baru Appellate Body dengan cara menolak berbagai proposal pengisian kekosongan keanggotaan.

Karena proses pengangkatan anggota Badan Banding dilakukan melalui konsensus, maka satu anggota WTO dapat memblokir pengangkatan dengan mengajukan keberatan resmi.

AS terus menolak hingga 2019 masa jabatan dua hakim Badan Banding berakhir, sehingga hanya tersisa satu anggota. Hal ini menyebabkan proses banding baru menjadi terhenti, karena suatu banding harus didengar oleh tiga hakim Badan Banding.