Lantas benarkah WTO melempem dan kehilangan taringnya, apa yang jadi penyebabnya?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan WTO memang nyaris tak bertaring. Hal itu terjadi sejak era pertama Donald Trump sebagai presiden AS.
Saat itu AS mulai mengabaikan keberadaan WTO sebagai wadah pembentukan kebijakan perdagangan para anggotanya.
Tapi saat itu, Trump lebih memilih pendekatan bilateral ketimbang multilateral. Hal itu perlahan membuat WTO terabaikan.
“Karena peran AS yang cukup besar di dalam sistem perdagangan dunia, terutama dari sisi penguasaan sistem pembayaran internasional, maka saat AS memilih jalur bilateral, negara lain pada akhirnya mendekati AS dengan cara bilateral juga. Bahkan dengan China belakangan, pendekatan dan negosiasi bilateral lebih menonjol,” katanya kepada .
Padahal, sambungnya, di WTO pun ada mekanisme penyelesaian masalah, panel, serta sistem banding, layaknya penyelesaian “dispute” di PBB berdasarkan hukum bisnis internasional. Namun, lagi-lagi pengaruh geopolitik dan geoekonomi sangat besar di dalamnya.
Ketika negara besar mulai merasa kurang puas dengan mekanisme penyelesaian masalah yang ada, maka mereka mulai kembali pada pendekatan bilateral, bahkan mengambil kebijakan sepihak atas nama kepentingan nasional.
“Sehingga pada akhirnya, dengan tendensi proteksionisme yang makin menguat, di mana kebijakan negara-negara besar yang memilih untuk mengabaikan institusi multilateral, membuat WTO akhirnya terabaikan,” imbuhnya.