Sebaran hewan ini meliputi Kalimantan Utara, Timur, Tengah, Barat, serta Sabah dan Sarawak di Malaysia. Namun, karena ketergantungannya pada hutan lebat dan minimnya gangguan manusia, spesies ini sangat rentan terhadap deforestasi, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa liar.
Kucing merah Kalimantan diklasifikasikan sebagai spesies terancam punah (Endangered) sejak 2002 berdasarkan Daftar Merah IUCN. Estimasi populasi kucing merah adalah 2.500 individu dewasa.
Deforestasi, perburuan ilegal, dan perdagangan satwa liar adalah ancaman utama hewan ini. Di Kalimantan, tingkat deforestasi yang tinggi-dari tiga perempat pulau berhutan pada 1980-an menjadi hanya 52 persen pada 2005-memperparah ancaman terhadap habitat kucing merah.
Selain itu, perburuan oportunistik dan jebakan untuk hewan lain, seperti babi hutan, juga membahayakan satwa ini, seperti kasus kucing merah yang ditemukan mati terjerat di Murung Raya pada 2022.
Di Indonesia, kucing merah dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, dan secara internasional terdaftar pada CITES Appendix II, yang mengatur perdagangan spesies ini.
Namun, minimnya data tentang ekologi, perilaku, dan distribusi menyulitkan upaya konservasi. Penelitian lebih lanjut dan edukasi masyarakat lokal menjadi kunci untuk memastikan kelangsungan hidup spesies ini.
Penemuan di TNKM
Penampakan kucing merah pada kamera jebak di TNKM merupakan peristiwa bersejarah. Sepanjang sejarah, hewan ini hanya pernah terekam dua kali di kawasan ini, yakni pada 1957 oleh naturalis Prancis Pierre Pfeffer dan pada 2003 melalui kamera jebak oleh Dave Augeri dan WWF Kayan Mentarang Project.