Jakarta — Nama Alexandr Wang mengemuka belakangan ini. Pemicunya, akuisisi yang dilakukan Meta terhadap Scale AI, perusahaan penyedia data kecerdasan buatan.
Wang diketahui merupakan sosok di belakang Scale AI. Tak hanya itu, Wang juga bukan sosok sembarangan.
Ia merupakan salah satu orang terkaya di dunia saat ini.
Forbes mencatat kekayaannya tembus US$3,6 miliar atau Rp59,08 triliun (Kurs Rp16.411 per dolar AS).
Lalu siapa sebenarnya Wang dan bagaimana ia bisa sehebat itu?
Mengutip berbagai sumber, salah satunya bbntimes, Wang adalah anak imigran China yang lahir pada 1997 di Los Alamos, New Mexico pada 1997 lalu.
Orang tuanya, fisikawan di Laboratorium Nasional Los Alamos. Latar belakang orang tua itulah kemudian menular terhadap diri Wang.
Wang memiliki kecerdasan dan bakat tinggi dalam bidang fisika, matematika dan pemrograman komputer.
Ia selalu unggul dalam pelajaran, termasuk dalam kompetisi matematika nasional. Bahkan, ia berhasil menempati peringkat 30 teratas dalam Olimpiade Matematika AS.
Ia juga menjadi finalis Olimpiade Komputasi AS pada 2012 dan 2013. Kecakapan intelektualnya juga membuatnya mendapatkan tempat di Tim Fisika AS pada 2014.
Tak hanya di bidang sains, Wang pada masa kecil juga memiliki kecintaan pada musik. Ia sudah senang bermain biola sejak usia 9 tahun.
Ia juga memiliki minat tinggi pada filsafat, khususnya karya Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf Jerman.
Minat dan bakat lengkap itulah yang membentuk kehidupan Wang, termasuk membawa perjalanan hidupnya ke dunia teknologi.
Perjalanan dimulai setelah ia lulus sekolah tingkat atas. Setelah menyelesaikan pendidikannya di level SMA, Wang memutuskan untuk libur setahun.
Waktu libur ia tak manfaatkan untuk leha-leha. Ia memilih pindah ke Silicon Valley untuk mencoba melamar kerja di perusahaan aset manajemen, Addepar.
Ia memang belum memiliki gelar apa-apa. Ia hanya memiliki keterampilan teknis yang diasah selama bertahun-tahun melalui pembelajaran mandiri dan pemrograman kompetitif.
Tapi, keterampilan itu membuat perekrut terkesan hingga akhirnya ia diterima kerja. Di Addepar, Wang memperoleh pengalaman berharga dalam lingkungan teknologi yang bergerak cepat.
Tetapi itu tak bertahan lama. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Namun, Wang hanya bertahan kuliah di MIT selama satu tahun. Setelah satu tahun, ia keluar.
Ia kemudian berpetualang ke Quora, perusahaan swasta yang beroperasi sebagai platform tanya jawab berbasis komunitas dengan menjadi programmer perangkat lunak.
Di Quora, Alexandr Wang bertemu Lucy Guo, seorang desainer produk. Pertemuan inilah yang kemudian menghasilkan kolaborasi bisnis besar.
Pada 2016, di usia 19 tahun, Alexandr Wang mendirikan Scale AI bersama Lucy Guo melalui program akselerator Y Combinator.
Ia ingat saat itu masih sangat muda.
“Tetapi saya hanya berpikir, ‘Ya, saya tahu cara membuat kode. Saya akan melakukannya,'” katanya seperti dikutip dari Forbes.
Ide untuk Scale AI muncul dari kesadaran Wang bahwa hambatan dalam pengembangan AI bukanlah algoritma atau daya komputasi, melainkan ketersediaan data berlabel berkualitas tinggi.
Saat di MIT, ia mengamati bahwa perusahaan kesulitan mengintegrasikan pembelajaran mesin ke dalam operasi mereka karena kurangnya infrastruktur data yang dapat diakses.
Scale AI dirancang untuk mengatasi kesenjangan ini dengan menyediakan layanan anotasi data dan evaluasi model, yang memungkinkan perusahaan melatih model AI secara efektif.
Scale AI dengan cepat mendapatkan daya tarik.
Pada saat banyak perusahaan rintisan AI belum menghasilkan sepeser pun, teknologinya telah digunakan oleh pemerintah AS untuk menganalisis citra satelit di Ukraina dan oleh OpenAI untuk membuat ChatGPT, bot yang mengguncang dunia dengan kemampuannya menjawab pertanyaan sepele dan menulis puisi.
Mereka juga sudah berhasil memikat klien seperti General Motors, Flexport, dan Zoox, yang mengandalkan layanannya untuk mengembangkan aplikasi kendaraan otonom, pengoptimalan rantai pasokan, dan banyak lagi.
Keberhasilan awal perusahaan didorong oleh wawasan Wang bahwa “data adalah kode baru”.
Pada tahun 2019, Scale AI meraih status unicorn dengan valuasi yang melampaui US$1 miliar, berkat investasi sebesar US$100 juta dari Founders Fund milik Peter Thiel.
Dua tahun kemudian, valuasi perusahaan melonjak hingga US$7,3 miliar. Lonjakan mengakibatkan Wang yang memiliki 15 persen saham menjadi miliarder di usia 24 tahun.
Prestasi itu menjadikannya miliarder termuda di dunia yang merintis usahanya sendiri saat itu.
[Gambas:Video CNN]
Di bawah kepemimpinan Wang, Scale AI memperluas jangkauannya melampaui klien komersial hingga mencakup kontrak pemerintah. Salah satu klien besarnya adalah Departemen Pertahanan AS.
Pada 2020, perusahaan tersebut mendapatkan kontrak untuk membantu Angkatan Udara dan Angkatan Darat AS dalam penerapan AI.
Berdasarkan data pemerintah AS, Scale mendapatkan kontrak US$60,6 juta dari proyek itu..
Pada 2023, perusahaan tersebut menjadi perusahaan AI pertama yang menerapkan model bahasa besarnya, Donovan, pada jaringan rahasia untuk Korps Lintas Udara XVIII Angkatan Darat AS.
Kemitraan ini menggarisbawahi komitmen Wang untuk memanfaatkan AI demi keamanan nasional, sebuah tujuan yang telah ia perjuangkan melalui advokasi publik.
Dalam surat terbuka 2025 kepada Presiden Donald Trump, yang diterbitkan sebagai iklan satu halaman penuh di The Washington Post, Wang mendesak AS untuk “memenangkan perang AI,” dengan menekankan pentingnya geopolitik dalam mempertahankan kepemimpinan teknologi.
Meskipun pertumbuhannya pesat, Scale AI menghadapi tantangan.
Ketergantungan perusahaan pada pekerja kontrak untuk pelabelan data menyebabkan sengketa hukum dengan mantan karyawan.
Mereka menuduh adanya manipulasi upah pada 2024 dan 2025.
Selain itu, kontraktor melaporkan adanya bahaya psikologis akibat paparan konten beracun, seperti materi kekerasan atau pelecehan, yang menimbulkan pertanyaan tentang implikasi etis dari operasi Scale yang padat karya.
Wang menanggapi kritik ini dengan menekankan komitmen perusahaan untuk meningkatkan kondisi pekerja dan menerapkan perlindungan.
“Karena kami akan selalu menginginkan manusia dalam prosesnya,” katanya.