“Langkah Dedi bisa dinilai sebagai adaptasi strategis yang kontekstual,” ucapnya.
Namun, Verdy juga memberi catatan agar pendekatan ini tidak berlebihan.
“Jika terlalu berlebihan, bisa terjebak dalam komunikasi politik yang artifisial, di mana persepsi menjadi lebih penting dari pencapaian kebijakan,” tambahnya.
Senada dengan Verdy, Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai gaya komunikasi Dedi memang mirip dengan Jokowi, namun berpotensi menjadi monolog jika tidak melibatkan media secara aktif.
“Saya mengkritik kalau misalkan memang ada arahan lebih sifatnya satu arah ketika itu dilakukan oleh Kang Dedi karena kalau mencontoh Pak Jokowi saya tahu beliau justru intens melibatkan media,” kata Agung, Selasa (29/4) malam.
Ia menekankan pentingnya komunikasi yang tidak hanya berorientasi pada viralitas semata, melainkan juga membangun sistem birokrasi yang efektif dan berkelanjutan.
“Tujuan utamanya bukan viral, ini yang harus saya garis bawahi. Ini juga masukan buat Kang Dedi Mulyadi, tujuan utamanya apakah setelah efisien itu efektif?” ujar Agung.
Agung juga mendorong agar semangat transparansi dan komunikasi digital tidak hanya berhenti pada Dedi, melainkan menjadi budaya di seluruh jajaran pemerintahannya. Ia khawatir, tanpa tim yang solid dan sistem yang kuat, gaya kepemimpinan Dedi hanya akan bersifat sementara.
“Jangan sampai legasi beliau, kebijakan beliau, inovasi beliau untuk masyarakat Jawa Barat, itu hanya ada ketika beliau menjabat. Tapi setelah itu balik lagi masalahnya,” tegasnya.