Hal ini didasarkan pada para orang tua dan guru yang sudah tidak sanggup menghadapi kenakalan anak dan murid, sehingga memerlukan pembinaan di bawah kedisiplinan TNI/Polri atas izin orang tua.
“Banyak orang tua yang hari ini tidak punya kesanggupan lagi menghadapi anaknya. Banyak guru yang tidak punya kesanggupan menghadapi murid-muridnya,” kata Dedi di Kompleks Parlemen, Selasa (29/4).
Menurut Dedi, program ini bukan pelatihan militer, melainkan pembinaan gaya hidup sehat agar siswa tidak terlibat dalam perilaku menyimpang seperti bolos sekolah, merokok, hingga mengonsumsi minuman keras.
Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari sebagian masyarakat. Hasil survei Indikator Politik Indonesia mencatat 92 persen responden di Jawa Barat mendukung program ini.
“Nah ini yang menarik, kalau ada yang badung kirim ke barak militer. Itu 89 persen tahu. Dan 92 persen juga setuju,” ujar Direktur Riset Indikator, Muhammad Adam Kamil (28/5).
Namun, kritik tajam datang dari lembaga HAM dan perlindungan anak. Imparsial menilai program ini berbahaya karena melibatkan institusi militer dalam urusan sipil.
“Mengakarnya kultur kekerasan di tubuh TNI jelas-jelas menunjukkan bahwa kebijakan yang akan diambil oleh Dedi Mulyadi tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya,” kata Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra.
Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menolak keras. Wakil KPAI Jastra Putra mendesak program dihentikan sementara untuk evaluasi, khususnya terkait hak anak.
“Hasil pengawasan kita itu pertama agar program ini untuk sementara dihentikan sampai dilakukan evaluasi terutama terkait regulasi, karena dalam surat edaran Pak Gubernur itu kan berpotensi melanggar hak anak. Terutama labeling dan non-diskriminasi” kata Jasra di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/5).