Paus Leo XIV resmi terpilih, seorang putra dari Chicago dan anggota Ordo Santo Agustinus, bukan sekadar pergantian kepemimpinan dalam Gereja Katolik.
Ia adalah simbol sejarah yang berputar, jembatan yang membentang dari pusat dunia Protestan kembali ke rahim Katolik, dari negara yang dulunya menjadi tanah subur Reformasi, kembali kepada persatuan yang lebih dalam.
Bahwa Paus baru berasal dari Amerika Serikat—negara dengan sejarah Protestan yang dominan, dengan warisan Martin Luther masih bergema dalam banyak gereja dan budaya—adalah sebuah peristiwa yang sarat makna.
Dan bahwa ia berasal dari Ordo Santo Agustinus, ordo religius yang juga menaungi Luther sebelum perpecahan besar, menambahkan dimensi rohani yang tak terelakkan: sejarah sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
Dalam pemilihannya, dunia menyaksikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pilihan seorang pemimpin rohani. Dunia menyaksikan sebuah gerakan pulang. Amerika, dalam dirinya, membawa pulang kembali warisan iman yang pernah ditinggalkan. Paus Leo XIV, dengan mottonya “In Illo Uno Unum“– “Dalam Dia yang satu, kita menjadi satu” – mengundang dunia yang terpecah untuk kembali menyatu dalam Kristus.
Dari Barat yang sekular dan plural, suara-suara baru kini berbicara tentang kesatuan, tentang akar, dan tentang rumah.
Mungkin, untuk pertama kalinya sejak Reformasi, dunia Protestan dan Katolik melihat satu titik temu bukan hanya dalam teologi, tetapi dalam pribadi.
Paus Leo XIV adalah pengingat bahwa meskipun sejarah bisa terluka, rahmat Tuhan tetap bekerja secara perlahan dan penuh harapan.