Jayapura,Papua – Moderator DGP, Pdt. Dr. Benny Giay mengatakan darurat kemanusiaan di Intan Jaya diserukan pihaknya setelah operasi militer di sana pada 13 Mei 2025, yang dinilai tidak tepat sasaran.
DGP mengungkapkan, operasi militer itu menyebabkan warga sipil meninggal dunia, terluka, hilang dan masyarakat dari tujuh kampung mengungsi. DGP pun menyerukan penghentian operasi militer di wilayah hunian warga sipil dan menyerukan darurat kemanusiaan di Kabupaten Intan Jaya, dan Tanah Papua pada umumnya.
“Hentikan operasi militer yang membunuh umat Tuhan. Hentikan operasi militer di wilayah warga sipil,” kata Pdt. Dr. Benny Giay dalam konferensi Pers di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (30/5/2025).
Benny Giay mengatakan, apa yang terjadi di Intan Jaya kini menggambarkan bahwa operasi militer yang tidak tepat sasaran, dan telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari kalangan warga sipil.
Menurutnya, Dewan Gereja Papua menerima informasi dari lapangan bahwa belasan warga sipil menjadi korban penembakan dan operasi militer di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Beberapa di antaranya meninggal dunia dan sejumlah lainnya mengalami luka serius.
“Sekitar tujuh warga sipil atau lebih masih belum ditemukan, dan diduga menjadi korban dalam operasi itu. Data korban yang dihimpun DGP ada sejumlah korban warga sipil dalam operasi militer di daerah Intan Jaya,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan, data yang diterima Dewan Gereja Papua mencatat warga sipil yang meninggal akibat peluru nyasar dalam operasi dari TNI ialah Ruben Wandegau 35 tahun (Kepala Desa), Pedeta Elisa Wandegau 75 tahun, Mono Tapamina Tapani 40 tahun, dan Hetina Mirip 24 tahun.
Korban luka-luka Junite Zanambani 21 tahun (tertembak dibangian lengan), Minus Jegeseni 5 lima tahun (tertembak di bagian telinga), Nopen Wandegau 36 tahun (tertembak di tangan), Ka Pogau 25 tahun, dan Jubelina Kogoya 25 tahun (luka-luka saat penyisiran).
Pdt. Dr. Benny Giay melanjutkan, kampung yang warganya mengungsi ke Distrik Sugapa, ibu kota Intan Jaya akibat kontak senjata adalah Kampung Titigi, Ndugusinga, Jaindapa, Sugapa Lama, Hitadipa, Janamba, Soagama.
“Pos TNI Kesatuan Habema di Intan Jaya, saat ini berlokasi di antara kampung Jaindapa dan Zanamba dan Pos lainnya berada di kampung Titigi di Gereja Paroki (Katolik),”ucapnya.
Sejak 13 Mei 2025, sudah ada bantuan tempat tinggal dan makanan dari pemerintah daerah. Namun sebagian besar warga Intan Jaya ingin mengungsi ke Nabire. Akan tetapi keinginan itu ditolak oleh pemerintah daerah. Warga malahan disuruh kembali ke kampung masing – masing.
DGP merekomendasikan kepada pemerintah harus menjamin tidak ada pos-pos militer di kampung warga, agar ada jaminan atas keselamatan masyarakat jika mereka diminta kembali ke kampungnya.
“Surat terbuka ini kami sampaikan untuk kepentingan umat kami, yang sedang dihabisi dan terhabisi di depan rumahnya, di halaman gerejanya, di kebunnya, dan di atas atas tanah leluhurnya di seluruh pelosok Tanah Papua, khususnya di Intan Jaya dan daerah-daerah konflik lainnya di Papua hari ini,”katanya.
Ia berharap,Presiden Prabowo Subianto mendengar, melihat, dan segera menghentikan segala militerisme di wilayah Intan Jaya, dan daerah-daerah lainnya di seluruh Tanah Papua.
“Ketika mendengar kisah dan berita pengungsian, penembakan, dan kematian misalnya di Intan Jaya saat ini, kami mengetahui bahwa kisah seperti ini bukan hal baru. Sebagian masyarakat ini sudah pernah mengungsi atau lari dari operasi keamanan di tahun-tahun sebelumnya,” kata Pdt. Dr. Benny Giay. (*)