Di tengah arus modernisasi dan tuntutan efisiensi institusi pendidikan, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi mengeluarkan sebuah kebijakan yang patut dipertanyakan secara serius: transformasi program Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) ke dalam bentuk yang disebut-sebut sebagai “reformasi berbasis efisiensi anggaran”. Tiga perubahan besar diperkenalkan:

  1. KKN menjadi mandiri
  2. Program magang diubah menjadi laporan KKN, dan
  3. pembentukan program asisten dosen.

Namun, di balik wajah modernitas dan narasi efisiensi ini, tersembunyi sebuah keretakan epistemik dan kekeliruan etis yang sangat mendalam. Dari sudut pandang filsafat, kebijakan ini bukan sekadar masalah teknis administratif—melainkan merupakan refleksi dari krisis pemikiran institusional dan distorsi tanggung jawab sosial.

KKN Mandiri: Kebebasan Tanpa Makna, Absurditas Institusional

Kebijakan KKN mandiri, alih-alih membebaskan mahasiswa, justru melemparkan mereka ke dalam dunia yang tak terstruktur, tanpa dukungan, tanpa arahan, dan tanpa kejelasan. Di sini kita melihat kembali absurditas ala Albert Camus: mahasiswa ditempatkan dalam realitas penuh tuntutan, tapi kosong dari makna. Mereka harus mengisi laporan, menjalankan kegiatan, dan memenuhi kewajiban akademik tanpa infrastruktur yang memadai.

Jika universitas sebagai institusi pendidikan tidak menyediakan alat dan arah, maka “kemandirian” hanyalah kedok untuk pembiaran. Ini bukan pendidikan, ini adalah pengunduran diri negara dari fungsi pendidikannya. Dalam kacamata eksistensialisme, manusia memang bebas. Tapi kebebasan tanpa arah adalah siksaan. Universitas telah menjadikan mahasiswa sebagai Subjek yang terdampar, tanpa kapal, tanpa kompas, dalam lautan birokrasi yang tak peduli.