Disinggung soal pengkondisian proyek tersebut kepada PT Burniat Indah Karya, sebagaimana proyek tersebut sempat dibatalkan lalu tender ulang, Direktur Poltekkes itu mengelak dengan dalih masalah teknis ada pada panitia Pokja Pusat.
“Klu tekhnis syo tidak begitu pahami betul,ada panitia pusat Pokja/ satpel pusat pak…,mgkin itu info syo yo pak trims selamat sore,” ujarnya.
Ironinya sekalipun terdapat issue penggunaan material ilegal serta masalah lain pada proyek sebesar Rp 34.6 Milliar tersebut, Rusmimpong tetap mengklaim bahwa semuanya sudah sesuai aturan tanpa dapat memberikan klarifikasi lebih lanjut.
Padahal penggunaan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) semacam tanah ilegal dalam kasus ini jelas membawa konsekuensi hukum yang serius, tidak hanya bagi penambang tapi juga bagi pengguna material tersebut.
Lihat saja UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pelaku penambangan ilegal dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp 100 Miliar.
Selama ini yang sering diabaikan adalah bahwa hukum juga menjerat penadah atau pengguna hasil tambang ilegal.Termasuk kontraktor proyek pemerintah yang dengan sengaja menggunakan material dari sumber ilegal.
Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, atau mengolah hasil penambangan dari pemegang IUP, IUPK, atau IPR yang tidak memiliki izin usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 Miliar.
Praktik penggunaan MBLB ilegal dalam proyek APBD diduga terjadi melalui mekanisme yang melibatkan rantai kolusi antara aparatur pemerintah, kontraktor, dan penambang ilegal.

