Ambivalen Sistem Pemilihan Umum Raya (Pemira) UNJA

Opini4910 Dilihat

Muaro Jambi – Masyarakat Universitas Jambi belakangan ini dikejutkan dengan berita terkait Pemilihan Umum Raya (PEMIRA) yang sudah memasuki babak baru. Melansir dari unja.ac.id dalam kategori berita seputar kampus (24/01/2025), rapat Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni bersama perwakilan tujuh BEM fakultas pada Rabu (22/01/2025) lalu telah menyepakati beberapa poin penting. Forum yang juga dihadiri oleh Ketua Tim Fasilitasi I dan II (Prof. Dr. Supian, S.Ag., M.Ag. dan Dr. Fuad Muchlis, S.P., M.Si.) tersebut telah menyepakati regulasi PEMIRA UNJA menggunakan mekanisme kongres.

Banyak mahasiswa yang menyayangkan keputusan tersebut, tak terkecuali mahasiswa yang berasal dari UKM, OK, HIMA/IMA, dan DPM di Universitas Jambi itu sendiri. Beragam berita kritik dan opini tersebar di kalangan mahasiswa, bahkan terdapat flayer “Angsa Biru” yang sempat viral dengan mengatasnamakan forum Keluarga Besar Mahasiswa UNJA. Pasalnya, selama ini Universitas Jambi selalu mengadakan PEMIRA dengan sistem pemilihan langsung, baik di tingkat universitas maupun fakultas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden BEM, Ketua dan Wakil Ketua MAM, Gubernur dan Wakil Gubernur BEM, hingga DPM di fakultas. Namun, hasil keputusan yang ada jauh dari harapan. Selain itu, narasi tentang pemilihan BEM fakultas dan DPM juga nihil ditemukan. Apakah BEM di tingkat fakultas dianggap tidak penting? Seyogianya, pemilihan tersebut dilaksanakan secara serentak dan menjadi prioritas utama jika benar-benar ingin menghidupkan kembali demokrasi di Universitas Jambi yang lebih dari tiga tahun ini vakum. Lalu, benarkah sistem kongres tidak relevan untuk dilaksanakan?

Pemilihan Umum VS Perwakilan/Kongres

Tidak hanya di kampus, isu perubahan sistem pemilihan juga dapat kita lihat dengan terang-benderang di sekitar kita dalam skala lebih luas, yaitu negara Republik Indonesia. Pernyataan Presiden Prabowo yang mendukung ide pilkada kembali dipilih oleh DPRD saat sambutan di acara puncak HUT Ke-60 Partai Golkar, 12 Desember 2024 lalu, sempat menjadi diskusi panas di publik. Pernyataan tersebut menuai pro-kontra dengan alasan efisiensi anggaran pilkada. Namun, jika ditilik berdasarkan catatan sejarah, aturan kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat memang sebenarnya masih terbilang baru. Sejak Indonesia merdeka hingga berakhirnya Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, pilkada selalu diwakilkan oleh DPR. Kebijakan itu runtuh setelah Reformasi dan terbitnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Aturan pemilihan langsung pun berlaku sampai sekarang. Selain itu, dalam sistem presidensial juga tidak ada lembaga legislatif memilih lembaga eksekutif.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, mengatakan bahwa RUU Pilkada masuk ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 DPR RI. Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pilkada melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat. Menurutnya, pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui DPR tetap berpotensi terjadinya politik uang. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD. Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya, bukan dengan serta merta mengubah sistem. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, juga mengkritik tajam wacana ini. Ia menyebutnya sebagai tanda nyata kemunduran demokrasi di Indonesia. Bahkan Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai wacana agar pilkada dikembalikan melalui DPRD merupakan logika yang sesat.

Memang jika membahas sistem pilkada yang dikembalikan kepada DPRD alias diwakilkan, akan ada pro dan kontra. Namun, jika kita mengkorelasikan dengan kondisi demokrasi di kampus yang notabene adalah miniatur negara, maka tidak ditemukan urgensi dan alasan mendasar mengapa sistem PEMIRA diganti ke sistem kongres. Selain ada kepentingan kelompok tertentu yang diuntungkan, perubahan ini juga terlihat sebagai upaya menyederhanakan pesta demokrasi oleh pihak birokrasi.

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” Pasal 1(2) UUD 1945

Tren Positif Kebangkitan Mahasiswa

Dalam satu dekade terakhir, harus diakui bahwa kekuatan dan pergerakan mahasiswa menemui banyak tantangan. Bahkan sekadar untuk menyampaikan aspirasi dan mengawal kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat pun kerap mendapat intervensi dan tindakan represif. Mahasiswa yang berusaha menjadi agent of change, iron stock, dan social control sering kali suaranya dianggap sepele oleh pemerintah pusat, daerah, maupun lingkup kampus. Namun, pasca pandemi COVID-19 berlalu dan di tengah derasnya arus MBKM, mahasiswa mampu kembali menemukan momentum kebangkitannya.

Ketika rezim berganti pada Agustus 2024 lalu, mahasiswa berhasil mengawal putusan MK dan menolak pembahasan ulang revisi UU Pilkada. Masih harum rasanya ketika empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil meyakinkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ketentuan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini menjadi bukti bahwa mahasiswa memiliki energi dan kekuatan lebih yang bisa diarahkan untuk hal-hal besar, terutama untuk menjawab masalah di negeri ini.

Sebagai sesama mahasiswa, walaupun dari kampus berbeda, tentunya kita bisa terinspirasi untuk berbuat lebih dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi kampus, daerah, dan negara. Tidak lagi hanya terjebak dengan politik kotor dan kepentingan kelompok/golongan semata. Namun, apabila kita masih terkekang pada perdebatan pemilihan langsung atau perwakilan, rasanya tidak akan sampai pada solusi konkret yang membangun pendidikan politik mahasiswa. Kampusnya sudah unggul, namun demokrasinya telah menjadi tunggul. Belum terbayang rasanya jika Ketua BEM terpilih nantinya harus konsolidasi di forum nasional dan bercerita bahwa dirinya terlahir dari rahim sistem PEMIRA kongres.

“Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya,” (G.W.F. Hegel).

Resolusi Penyelamatan Demokrasi

Ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi: kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, dan jaminan hak pilih. Jika berkurang atau lemah satu dari tiga hal tersebut, maka demokrasi masuk ke dalam fase menuju keruntuhan. Demokrasi juga harus didukung oleh SDM yang berkualitas. Berbicara tentang SDM, pembangunan karakter dan moral berkaitan erat dengan kultur pendidikan yang ada. Di belahan dunia mana pun, puncak dari pertaruhan sukses atau tidaknya pembangunan SDM ditentukan dari bagaimana proses yang dilalui di kampus. Sehingga dalam hal ini, universitas punya peran sentral dalam menghadirkan SDM yang berintegritas agar keberlangsungan hidup demokrasi, khususnya di kampus dan umumnya di Indonesia, bisa lebih panjang.

Dengan bergantinya birokrat di Universitas Jambi, semoga kisah kelam perjalanan demokrasi tiga tahun ke belakang dapat menjadi pembelajaran. Jangan mematikan gerakan politik mahasiswa di kampus demi tujuan tertentu dan melindungi kepentingan yang lainnya. Satu tahun kepemimpinan Rektor dan WR 3 (Prof. Dr. Helmi, S.H., M.H., dan Dr. Fauzi Syam, S.H., M.H.) masih menyisakan PR besar untuk mewujudkan demokrasi di Universitas Jambi. Karena organisasi seperti BEM dan MAM secara legal diakui keberadaannya dengan SK Peraturan Rektor Universitas Jambi Nomor 04 Tahun 2018. Adapun hal tersebut juga didukung oleh negara dengan terbitnya Keputusan Mendikbud Nomor 155 Tahun 1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Jika melihat kembali UUD KBM UNJA Tahun 2021, pada Bab VI Pasal 12 dijelaskan, pelaksanaan Pemilu dilakukan secara serentak dan menyeluruh di semua tingkatan, baik universitas maupun fakultas, terkecuali FKIK.

PEMIRA UNJA haruslah dilaksanakan dengan mengedepankan asas demokrasi. Asas yang dimaksud adalah langsung, di mana asas itu selalu ditekankan pada kalimat awal dari singkatan Luber Jurdil, sebab langsung merupakan penentu asas-asas setelahnya. Ditilik dari berbagai perspektif, langsung dalam pemilihan mengacu pada satu pengertian, di mana pemilih memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Mengapa asas langsung menjadi sentral dalam pemilihan, sebab jika pemilihan tidak dilakukan secara langsung, maka asas jujur dan adil dipertaruhkan keabsahannya. Begitu juga dengan asas-asas lainnya, langsung merupakan koentji dari pelaksanaan Pemilu yang baik.

Langkah yang perlu diambil saat ini adalah menghadirkan kembali forum KBM. dalam UU SUSDUK KBM UNJA tahun 2021 bab 1 pasal 1, dijelaskan bahwa “keluarga besar mahasiswa universitas jambi adalah seluruh komponen dan lembaga mahasiswa yang berkedudukan di universitas jambi yang selanjutnya disebut KBM UNJA”. jadi jelas bahwa KBM terdiri dari MAM, BEM, DPM, BEM F, UKM, OK, HMJ, IMAPRODI. pak rektor dan jajarannya, termasuk Tim Fasilitasi tidak perlu repot-repot untuk ikut mengambil kebijakan, cukup dengan memfasilitasi berjalannya agenda. Karena amanah dalam SK Kemendikbud menegaskan jika keseluruhan peran harus melalui mahasiswa. Dari forum KBM yang dihadirkan pokok pembahasan mahasiswa hanya sebatas bagaimana teknis pelaksanaan Pemira, dengan menentukan KPU, dan Bawaslu, yang terpenting adalah bagaimana komitmen untuk bersama-sama menjalankan Pemira yang jujur dan adil.

Seluruh elemen mahasiswa wajib berada pada garis perjuangan yang sebenarnya, membuang ego kelompok untuk mencapai satu tujuan yaitu menghidupkan kembali demokrasi di Unja, sebab penulis, kalian, dan kita semua bertanggung jawab untuk menghadirkan arena pertarungan gagasan dan ide yang baik tanpa adanya penjegalan, pengangkangan aturan dan intervensi. Jangan sampai kita tergabung dalam barisan mahasiswa yang bangga dengan kultur kecurangan dan ego kepentingan.

Salam Cinta penuh perjuangan!

HIDUP MAHASISWA!

HIDUP DEMOKRASI UNJA!

*penulis merupakan mahasiswa di universitas jambi